KETENTUAN HUKUM
WARIS DALAM ISLAM
1.
Ilmu Mawaris
- Pengertian Ilmu Mawaris
Dari
segi bahasa, kata mawarist (مَوَارِثُ) merupakan bentuk jamak dari kata مِيْرَاثٌ yang artinya harta yang diwariskan.
Adapun makna istilahnya adalah, ilmu tentang pembagian harta peninggalan
setelah seseorang meninggal dunia.
Ilmu
mawaris disebut juga ilmu faraidh (عِلْمُ الْفَرَائِضِ). Kata faraidh sendiri ditinjau dari segi
bahasa merupakan bentuk jamak dari kata فريضة yang
bermakna ketentuan, bagian, atau ukuran. Karenanya bahasan inti dari ilmu
warisan adalah perkara-perkara yang terkait dengan harta warisan atau harta
peninggalan. Ringkasnya bisa dikatakan bahwa ilmu faraidh adalah disiplin ilmu
yang membahas tentang ketentuan-ketentuan atau bagian-bagian yang telah
ditentukan untuk masing-masing ahli waris.
Ilmu
mawarits akan selalu terkait dengan beberapa unsur yang sering diistilahkan dengan
rukun-rukun mawarits. Dalam berbagai referensi yang membahas tentang mawarits
dipaparkan bahwa rukun-rukun mawarits ada 3 yaitu;
·
وارث (warits)
yaitu orang yang mendapatkan harta warisan. Seorang berhak mendapatkan warisan
karena salah satu dari tiga sebab yaitu; pertalian darah, hubungan pernikahan,
dan memerdekakan budak.
·
مورث (muwarrits)
yaitu orang yang telah meninggal dan mewariskan hartanya kepada ahli waritsnya.
Baik meninggalnya secara hakiki dalam arti ia telah menghembuskan nafas
terakhirnya. Atau meninggal secara taqdiri (perkiraan) semisal seorang yang
telah lama menghilang (al-mafqud) dan tidak diketahui kabar beritanya dan
tempat ia berdomisili hingga pada akhirnya hakim memutuskan bahwa orang
tersebut dihukumi sama dengan orang yang meninggal.
·
موروث (mauruts) yaitu harta warisan yang siap dibagikan kepada ahli
waris setelah diambil untuk kepentingan pemeliharaan jenazah (tajhiz
al-janazah), pelunasan hutang mayit, dan pelaksanaan wasiat mayit. Terkadang
mauruts diistilahkan dengan mirats atau irs.
- Hukum Membagi Harta Warisan
Seorang muslim dituntut
menjalankan syariat Islam sesuai dengan apa yang telah digariskan al-Qur’an dan
as-Sunnah. Setiap muslim haruslah mentaati semua perintah ataupun larangan
Allah sebagai bukti konsistensinya memegang aturan-aturan ilahi.
Demikian halnya saat syariat
Islam mengatur hal-hal yang terkait dengan pembagian harta waris. Seorang
muslim harus meresponnya dengan baik dan mematuhi aturan tersebut. Karena
aturan warisan tersebut merupakan ketentuan Allah yang pasti akan mendatangkan
maslahat bagi semua hamba-hamab-Nya. Bahkan Allah memperingatkan dengan keras
siapapun yang melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan-Nya (termasuk
aturan warisan). Allah berfirman dalam surat an-Nisa ayat 14:
و من يعص الله و
رسوله و يتعد حدوده يدخله نارا خالدا فيها و له عذاب مهين
Artinya:”Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka sedang
ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan.” (Q.S. an-Nisa: 14)
Menegaskan firman Allah di
atas, Rasulullah Saw juga bersabda:
أقسموا المال بين أهل
الفرائض على كتاب الله (رواه مسلم و أبو داود)
Artinya:”Bagilah harta warisan diantara ahli waris
sesuai dengan (aturan) kitab Allah.” (H.R. Muslim dan Abu Dawud).
- Hal-hal yang harus dilakukan sebelum harta warisan dibagikan
Beberapa hal yang harus
ditunaikan terlebih dahulu oleh ahli waris sebelum harta warisan dibagikan
adalah:
1)
Zakat. Kalau harta yang ditinggalkan sudah saatnya dikeluarkan zakatnya,
maka zakat harta tersebut harus dibayarkan terlebih dahulu.
2)
Belanja. Yaitu biaya yang dikeluarkan untuk pengurusan jenazah, mulai dari
membeli kain kafan, upah menggali kuburan, dan lain sebagainya.
3)
Hutang. Jika mayat memiliki hutang, maka hutangnya harus dibayar terlebih
dahulu dengan harta warisan yang ia tinggalkan.
4)
Wasiat. Jika mayat meninggalkan wasiat, agar sebagian harta peninggalannya
diberikan kepada orang lain. Maka wasiat inipun harus dilaksanakan.
Apabila keempat hak tersebut
(zakat, biaya penguburan, hutang mayat, dan wasiat mayat) sudah diselesaikan,
maka harta warisan selebihnya baru dapat dibagi-bagikan kepada ahli waris yang
berhak menerimanya.
- Hukum Mempelajari Ilmu Mawaris
Para ulama berpend berpendapat
bahwa mempelajari dan mengajarkan ilmu mawaris adalah fardhu kifayah. Artinya,
jika telah ada sebagian kalangan yang mempelajari ilmu tersebut, maka kewajiban
yang lain telah gugur. Akan tetapi jika dalam satu daerah/wilayah tak ada
seorang pun yang mau mendalami ilmu warisan, maka semua penduduk wilayah
tersebut menanggung dosa.
Urgensi ilmu mawarits dapat
kita cermati dalam satu teks hadits dimana Rasulullah Saw menggandengkan
perintah belajar al-Qur’an dan mengajarkan al-Qur’an dengan perintah belajar
dan mengajarkan ilmu mawarits/faraidh. Rasulullah bersabda:
تَعَلَّمُوْا
الْقُرْآنَ وَعَلِّمُوْهُ النَّاسَ وَتَعَلَّمُوْا الْفَرَئِضَ وَعَلِّمُوْهَا
النَّاسَ فَاِنِّى امْرُوءٌ مَقْبُوْضٌ وَالْعِلْمُ مَرْفُوْعٌ وَيُوْشِكُ أَنْ
يَخْتَلِفَ اثْنَانِ فِى الْفَرِيْضَةِ فَلاَ يَجِدَانِ اَحَدًا يُخْبِرْهُمَا
(اخرده احمد والنسائ والدرقطتى)
Artinya:“Pelajarilah
al Qur’an dan ajarkanlah kepada orang lain, dan pelajarilah ilmu faraidh dan
ajarkanlah kepada orang lain. Karena aku adalah orang yang bakal terenggut
(mati) sedang ilmu akan dihilangkan. Hampir saja dua orang yang bertengkar
tentang pembagian warisan tidak mendapatkan seorangpun yang dapat memberikan
fatwa kepada mereka” (Riwayat Ahmad, Al
Nasai, dan Daruqutni)”.
Dari penjelasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa mempelajari ilmu mawarits tidak bisa dianggap sebelah mata,
terutama bagi para pendakwah atau penyeru kebajikan. Walaupun hukum awalnya
fardhu kifayah, akan tetapi dalam kondisi tertentu, saat tak ada seorangpun
yang mempelajarinya maka hukum mempelajari ilmu mawarits berubah menjadi fardhu
ain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar