Kamis, 31 Mei 2018

ketentuan hukum mawaris



KETENTUAN HUKUM WARIS DALAM ISLAM

1.     Ilmu Mawaris
  1. Pengertian Ilmu Mawaris
Dari segi bahasa, kata mawarist (مَوَارِثُ) merupakan bentuk jamak dari kata مِيْرَاثٌ yang artinya harta yang diwariskan. Adapun makna istilahnya adalah, ilmu tentang pembagian harta peninggalan setelah seseorang meninggal dunia.
Ilmu mawaris disebut juga ilmu faraidh (عِلْمُ الْفَرَائِضِ). Kata faraidh sendiri ditinjau dari segi bahasa merupakan bentuk jamak dari kata فريضة yang bermakna ketentuan, bagian, atau ukuran. Karenanya bahasan inti dari ilmu warisan adalah perkara-perkara yang terkait dengan harta warisan atau harta peninggalan. Ringkasnya bisa dikatakan bahwa ilmu faraidh adalah disiplin ilmu yang membahas tentang ketentuan-ketentuan atau bagian-bagian yang telah ditentukan untuk masing-masing ahli waris.
Ilmu mawarits akan selalu terkait dengan beberapa unsur yang sering diistilahkan dengan rukun-rukun mawarits. Dalam berbagai referensi yang membahas tentang mawarits dipaparkan bahwa rukun-rukun mawarits ada 3 yaitu;
·       وارث (warits) yaitu orang yang mendapatkan harta warisan. Seorang berhak mendapatkan warisan karena salah satu dari tiga sebab yaitu; pertalian darah, hubungan pernikahan, dan memerdekakan budak.
·       مورث (muwarrits) yaitu orang yang telah meninggal dan mewariskan hartanya kepada ahli waritsnya. Baik meninggalnya secara hakiki dalam arti ia telah menghembuskan nafas terakhirnya. Atau meninggal secara taqdiri (perkiraan) semisal seorang yang telah lama menghilang (al-mafqud) dan tidak diketahui kabar beritanya dan tempat ia berdomisili hingga pada akhirnya hakim memutuskan bahwa orang tersebut dihukumi sama dengan orang yang meninggal.
·       موروث (mauruts) yaitu harta warisan yang siap dibagikan kepada ahli waris setelah diambil untuk kepentingan pemeliharaan jenazah (tajhiz al-janazah), pelunasan hutang mayit, dan pelaksanaan wasiat mayit. Terkadang mauruts diistilahkan dengan mirats atau irs.
                                  
  1. Hukum Membagi Harta Warisan
Seorang muslim dituntut menjalankan syariat Islam sesuai dengan apa yang telah digariskan al-Qur’an dan as-Sunnah. Setiap muslim haruslah mentaati semua perintah ataupun larangan Allah sebagai bukti konsistensinya memegang aturan-aturan ilahi.
Demikian halnya saat syariat Islam mengatur hal-hal yang terkait dengan pembagian harta waris. Seorang muslim harus meresponnya dengan baik dan mematuhi aturan tersebut. Karena aturan warisan tersebut merupakan ketentuan Allah yang pasti akan mendatangkan maslahat bagi semua hamba-hamab-Nya. Bahkan Allah memperingatkan dengan keras siapapun yang melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan-Nya (termasuk aturan warisan). Allah berfirman dalam surat an-Nisa ayat 14:
و من يعص الله و رسوله و يتعد حدوده يدخله نارا خالدا فيها و له عذاب مهين
Artinya:”Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka sedang ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan.” (Q.S. an-Nisa: 14)
Menegaskan firman Allah di atas, Rasulullah Saw juga bersabda:
أقسموا المال بين أهل الفرائض على كتاب الله  (رواه مسلم و أبو داود)
Artinya:”Bagilah harta warisan diantara ahli waris sesuai dengan (aturan) kitab Allah.” (H.R. Muslim dan Abu Dawud).
  1. Hal-hal yang harus dilakukan sebelum harta warisan dibagikan
Beberapa hal yang harus ditunaikan terlebih dahulu oleh ahli waris sebelum harta warisan dibagikan adalah:
1)      Zakat. Kalau harta yang ditinggalkan sudah saatnya dikeluarkan zakatnya, maka zakat harta tersebut harus dibayarkan terlebih dahulu.
2)      Belanja. Yaitu biaya yang dikeluarkan untuk pengurusan jenazah, mulai dari membeli kain kafan, upah menggali kuburan, dan lain sebagainya.
3)      Hutang. Jika mayat memiliki hutang, maka hutangnya harus dibayar terlebih dahulu dengan harta warisan yang ia tinggalkan.
4)      Wasiat. Jika mayat meninggalkan wasiat, agar sebagian harta peninggalannya diberikan kepada orang lain. Maka wasiat inipun harus dilaksanakan.
Apabila keempat hak tersebut (zakat, biaya penguburan, hutang mayat, dan wasiat mayat) sudah diselesaikan, maka harta warisan selebihnya baru dapat dibagi-bagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya.

  1. Hukum Mempelajari Ilmu Mawaris
Para ulama berpend berpendapat bahwa mempelajari dan mengajarkan ilmu mawaris adalah fardhu kifayah. Artinya, jika telah ada sebagian kalangan yang mempelajari ilmu tersebut, maka kewajiban yang lain telah gugur. Akan tetapi jika dalam satu daerah/wilayah tak ada seorang pun yang mau mendalami ilmu warisan, maka semua penduduk wilayah tersebut menanggung dosa.
Urgensi ilmu mawarits dapat kita cermati dalam satu teks hadits dimana Rasulullah Saw menggandengkan perintah belajar al-Qur’an dan mengajarkan al-Qur’an dengan perintah belajar dan mengajarkan ilmu mawarits/faraidh. Rasulullah bersabda:
تَعَلَّمُوْا الْقُرْآنَ وَعَلِّمُوْهُ النَّاسَ وَتَعَلَّمُوْا الْفَرَئِضَ وَعَلِّمُوْهَا النَّاسَ فَاِنِّى امْرُوءٌ مَقْبُوْضٌ وَالْعِلْمُ مَرْفُوْعٌ وَيُوْشِكُ أَنْ يَخْتَلِفَ اثْنَانِ فِى الْفَرِيْضَةِ فَلاَ يَجِدَانِ اَحَدًا يُخْبِرْهُمَا (اخرده احمد والنسائ والدرقطتى)
Artinya:“Pelajarilah al Qur’an dan ajarkanlah kepada orang lain, dan pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada orang lain. Karena aku adalah orang yang bakal terenggut (mati) sedang ilmu akan dihilangkan. Hampir saja dua orang yang bertengkar tentang pembagian warisan tidak mendapatkan seorangpun yang dapat memberikan fatwa kepada mereka” (Riwayat Ahmad, Al Nasai, dan  Daruqutni)”.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa mempelajari ilmu mawarits tidak bisa dianggap sebelah mata, terutama bagi para pendakwah atau penyeru kebajikan. Walaupun hukum awalnya fardhu kifayah, akan tetapi dalam kondisi tertentu, saat tak ada seorangpun yang mempelajarinya maka hukum mempelajari ilmu mawarits berubah menjadi fardhu ain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar