IV. MENCURI
a.
Pengertian Mencuri
Secara arti bahasa mencuri adalah mengambil harta atau selainnya
secara sembunyi-sembunyi. Dari arti bahasa ini muncul ungkapan “fulân
istaroqo as-sam’a wa an-nadhoro” (Fulan mencuri pendengaran atau
penglihatan).
Sedangkan menurut istilah syara’ mencuri adalah,
هِيَ أَخْذُ الْمُكَلَّفِ – أَيْ الْبَالِغِ الْعَاقِلِ – مَالَ
الْغَيْرِ خَفْيَةً إِذَا بَالَغَ نِصَابًا مِنْ حِرْزٍ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُوْنَ
لَهُ شُبْهَةٌ فِى هَذَا الْمَالِ الْمَأْخُوْذِ
Artinya
: “Mukallaf yang mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi, jika harta tersebut mencapai satu nishab,
terambil dari tempat simpanannya, dan orang yang mengambil tidak mempunyai
andil kepemilikan terhadap harta tersebut.”
Berpijak dari pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa praktik pencurian yang pelakunya diancam dengan hukuman had
memiliki beberapa syarat berikut ini:
1. Pelaku pencurian adalah
mukallaf
2. Barang yang dicuri milik
orang lain
3. Pencurian dilakukan
dengan cara diam – diam atau sembunyi – sembunyi
4. Barang yang dicuri
disimpan di tempat penyimpanan
5. Pencuri tidak memiliki
andil kepemilikan terhadap barang yang dicuri. Jika pencuri memiliki andil
kepemilikan seperti orang tua yang mencuri harta anaknya maka orang tua
tersebut tidak dikenai hukuman had, walaupun ia mengambil barang anaknya yang
melebihi nishab pencurian.
6. Barang yang dicuri
mencapai jumlah satu nisab
Praktik pencurian yang tidak memenuhi
syarat-syarat di atas pelakunya tidak dikenai had. Pun demikian, hakim berhak
menjatuhkan hukuman ta’zir kepadanya.
b.
Pembuktian praktik pencurian
Disamping syarat – syarat di atas, had
mencuri tidak dapat dijatuhkan sebelum tertuduh praktik pencurian benar-benar
diyakini –secara syara’- telah melakukan pencurian yang mengharuskannya dikenai
had. Tertuduh harus dapat dibuktikan melalui salah satu dari tiga kemungkinan
berikut:
1. Kesaksian dari
dua orang saksi yang adil dan merdeka
2. Pengakuan dari
pelaku pencurian itu sendiri
3. Sumpah dari
penuduh.
Jika
terdakwa pelaku pencurian menolak tuduhan tanpa disertai sumpah, maka hak
sumpah berpindah kepada penuduh. Dalam situasi semisal ini, jika penuduh berani
bersumpah, maka tuduhannya diterima dan secara hukum tertuduh terbukti
melakukan pencurian
c.
Had Mencuri
Jika praktik pencurian telah memenuhi
syarat-syarat sebagaimana dijelaskan di atas, maka pelakunya wajib dikenakan
had mencuri, yaitu potong tangan. Allah Swt berfirman dalam surat al-Maidah
ayat 38:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً
بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللهِ
وَاللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Artinya : “Laki – laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri
potonglah kedua tangannya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS.Al
Maidah : 38)
Ayat di atas menjelaskan had pencurian
secara umum. Adapun tekhnis pelaksanaan had pencurian yang lebih detail
dijelaskan dalam hadits Rasulullah berikut:
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ ص.م. قَالَ فِى السَّارِقِ
إِنْ سَرِقَ فَاقْطَعُوْا يَدَهُ ثُمَّ إِنْ سَرِقَ فَاقْطَعُوْا رِجْلَهُ إِنْ
سَرِقَ فَاقْطَعُوْا يَدَهُ ثُمَّ إِنْ سَرِقَ فَاقْطَعُوْا رِجْلَهُ (رواه الشافعي)
Artinya : “Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah
bersabda mengenai pencuri : “jika ia mencuri (kali pertama) potonglah satu
tangannya, kemudian jika ia mencuri (kali kedua) potonglah salah satu kakinya,
jika ia mencuri (kali ketiga) potonglah tangannya (yang lain), kemudian jika ia
mencuri (kali keempat) potonglah kakinya (yang lain).
Bersandar pada hadits tersebut sebagian
ulama diantaranya imam Malik dan imam Syafi’i berpendapat bahwa had mencuri
mengikuti urutan sebagaimana berikut:
1. Potong tangan kanan jika
pencurian baru dilakukan pertama kali
2. Potong kaki kiri jika
pencurian dilakukan untuk kali kedua
3. Potong tangan kiri jika
pencurian dilakukan untuk kali ketiga
4. Potong kaki kanan jika
pencurian dilakukan untuk kali keempat
5. Jika pencurian dilakukan
untuk kelima kalinya maka hukuman bagi pencuri adalah ta’zir dan ia
dipenjarakan hingga bertaubat.
Sebagian
ulama’ lain diantaranya Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat bahwa
hukuman potong tangan dan kaki hanya berlaku sampai pencurian kedua, yakni
potong tangan kanan untuk pencurian pertama dan potong kaki kiri untuk
pencurian kedua, sedangkan untuk pencurian ketiga dan seterusnya hukumannya
adalah ta’zir.
d.
Nisab (kadar) barang yang dicuri.
Para
ulama berbeda pendapat terkait nisab (kadar minimal) barang yang dicuri.
Menurut madzhab hanafi nishab barang curian
adalah 10 dirham
Menurut jumhur ulama nishab barang curian
adalah ¼ dinar emas, atau tiga dirham perak.
Dalil
yang dijadikan sandaran jumhur ulama terkait penetapan had nishab ¼ dinar emas
atau tiga dirham perak adalah:
Hadits yang diriwayatkan imam Muslim dalam
kitab shahihnya dan imam Ahmad dalam kitab musnadnya, dimana Rasulullah Saw
bersabda:
لَا تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ إِلَّا فِى
رُبْعِ دِيْنَارٍ فَصَاعِدًا
Artinya: “Tidak dipotong tangan seorang pencuri
kecuali jika ia mencuri sebanyak ¼ dinar atau lebih”
Dan dalam riwayat imam Bukhori dengan lafadz:
تُقْطَعُ الْيَدُ فِى رُبْعِ دِيْنَارٍ
فَصَاعِدًا
Artinya:”Tangan dipotong (pada pencurian) ¼ dinar atau
lebih.”
Adapun tentang harga dinar atau dirham selalu
berubah-ubah. Satu dinar emas diperkirakan seharga 10-12 dirham. Jika
dihargakan dengan emas, satu dinar setara dengan 13,36 gram emas. Jadi
diperkirakan nishab barang curian adalah 3,34 gram emas (1/4 dinar).
e. Pencuri yang dimaafkan
Ulama’
sepakat bahwa pemilik barang yang dicuri dapat memaafkan pencurinya, sehingga pencuri bebas dari had
sebelum perkaranya sampai ke pengadilan. Karena had pencuri merupakan hak hamba
(hak pemilik barang yang dicuri).
Jika
perkaranya sudah sampai ke pengadilan, maka had pencuri pindah dari hak hamba
ke hak Allah. Dalam situasi semisal ini, had tersebut tidak dapat gugur
walaupun pemilik barang yang dicuri memaafkan pencuri.
Teks
syar’i yang menjelaskan tentang masalah tersebut adalah, hadits riwayat Abu
Dawud dan Nasa’i berikut:
رَوَي
عَمْرُوْ بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص.م.
قَالَ: تَعَافُوْا الْحُدُوْدَ فِيْمَا بَيْنَكُمْ فَمَا بَلَغَنِيْ مِنْ حَدٍّ
فَقَدْ وَجَبَ (رواه أبوا داود والنّسائي)
Artinya :” Diriwayatkan dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya, dari
kakeknya: “Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda : “ Maafkanlah had selama masih
berada ditanganmu, adapun had yang sudah sampai kepadaku, maka wajib
dilaksanakan.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
f.
Hikmah had bagi pencuri
Adapun hikmah dari had mencuri
antara lain sebagai berikut :
1. Seseorang tidak akan dengan mudah mengambil barang orang lain
karena hal tersebut akan memunculkan efek ganda. Ia akan menerima sanksi moral
yaitu malu, sekaligus mendapatkan sanksi yang merupakan hak adam yaitu had.
2. Seseorang akan memahami betapa hukum Islam benar-benar
melindungi hak milik seseorang. Karunia Allah terkait harta manusia bukan hanya
dari sisi jumlahnya, lebih dari itu, saat harta tersebut telah dimiliki secara
syah melalui jalur halal, maka ia akan mendapatkan jaminan perlindungan.
3. Menghindarkan manusia dari sikap malas. Mencuri selain merupakan
cara singkat memiliki sesuatu secara tidak syah, juga merupakan perbuatan tidak
terpuji yang akan memunculkan sifat malas. Sifat ini jelas bertentangan dengan
nilai-nilai Islam.
4. Membuat jera pencuri hingga
dirinya terdorong untuk mencari rizki yang halal.
V. PENYAMUN, PERAMPOK, DAN PEROMPAK
a.
Pengertian penyamun, perampok, dan perompak
Penyamun, perampok, dan perompak
adalah istilah yang digunakan untuk pengertian “mengambil harta orang lain
dengan menggunakan jalur kekerasan atau mengancamnya dengan senjata dan
terkadang disertai dengan pembunuhan”. Perbedaannya hanya ada pada tempat
kejadiannya;
menyamun
dan merampok di darat
sedangkan merompak di laut
Dalam kajian fiqh, praktik menyamun, merampok, atau merompak masuk
dalam pembahasan hirâbah atau qat’ut tharîq (penghadangan di
jalan).
b. Hukum penyamun, perampok, dan perompak
Seperti diketahui merampok,
menyamun dan merompak merupakan kejahatan yang bersifat mengancam harta dan
jiwa. Kala seseorang merampas harta orang lain, dosanya bisa lebih besar dari
dosa seorang pencuri. Karena dalam praktik perampasan harta ada unsur
kekerasan.
Dan jika perampas harta
sampai membunuh korbannya, maka dosanya menjadi lebih besar lagi, karena ia
telah melakukan perbuatan dosa besar yang jelas-jelas diharamkan agama.
Maka wajar adanya, jika
perampok, penyamun, dan perompak mendapatkan hukuman ganda. Ia dikenai had, dan
diancam hukuman akhirat yang berupa adzab dahsyat. Allah Swt berfirman:
... وَلَهُمْ فِى الْأَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
Artinya : “ … dan di akhirat mereka ( para penyamun) beroleh
siksaan yang besar.” (QS. Al – Maidah : 33)
c.
Had perampok, penyamun, dan perompak
Had perampok, penyamun,
dan perompak secara tegas dinyatakan dalam al-Qur’an, surat al-Maidah ayat 33:
إِنَّمَا
جَزَاءُ الَّذِيْنَ يُحَارِبُوْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فِى الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ
يُقْتَلُوْا أَوْ يُصَلَّبُوْا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيْهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ
خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِى الدُّنْيَا وَ
لَهُمْ فِى الْأَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
Artinya : “ Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang – orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan
membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik (secara silang) atau dibuang dari
negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk
mereka di dunia dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar…” ( QS. Al –
Maidah :33)
Dari ayat di atas para
ulama sepakat bahwa had perampok, penyamun, dan perompak berupa : potong tangan
dan kaki secara menyilang, disalib, dibunuh dan diasingkan dari tempat
kediamannya.
Kemudian para
ulama berbeda pendapat mengenai had yang disebutkan dalam ayat tersebut, apakah
ia bersifat tauzî’î dimana satu hukuman disesuaikan dengan perbuatan
yang dilakukan seseorang, atau had tersebut bersifat takhyîrî sehingga
seorang hakim bisa memilih salah satu dari beberapa pilihan hukuman yang ada.
Jumhurul ulama’ sepakat bahwa hukuman yang dimaksudkan dalam surat
al-Maidah ayat 33 bersifat tauzî’î. Karenanya, had dijatuhkan sesuai
dengan kadar kejahatan yang dilakukan seseorang. Berikut simpulan akhir
pendapat mayoritas ulama terkait had yang ditetapkan untuk perampok, penyamun,
dan perompak:
1. Jika seseorang merampas harta orang lain dan membunuhnya maka
hadnya adalah dihukum mati kemudian disalib.
2. Jika seseorang tidak sempat merampas harta orang lain akan
tetapi ia membunuhnya maka hadnya adalah dihukum mati.
3. Jika seseorang merampas harta orang lain dan tidak membunuhnya
maka hadnya adalah dihukum potong tangan dan kaki secara menyilang.
4. Jika seseorang tidak merampas harta orang lain dan tidak juga
membunuhnya semisal kala ia hanya ingin menakut-nakuti, atau kala ia akan
melancarkan aksi jahatnya ia tertangkap lebih dulu, dalam keadaan seperti ini,
ia dijatuhi hukuman had dengan dipenjarakan atau diasingkan ke luar wilayahnya.
Perlu
dijelaskan bahwa hukuman mati terhadap perampok, penyamun, dan perompak yang
membunuh korbannya berdasarkan had bukan qishash, sehingga tidak dapat gugur
walaupun dimaafkan oleh keluarga korban
Sebagian ulama salaf berpendapat bahwa had
perampok, penyamun, perompak yang dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 33
bersifat takhyiri hingga hakim boleh memilih salah satu jenis hukuman
yang disebutkan dalam ayat tersebut.
d. Perampok, penyamun, dan perompak yang taubat
Taubatnya perampok, penyamun, dan perompak
setelah tertangkap tidak dapat mengubah sedikitpun ketentuan hukum yang ada
padanya. Namun jika mereka bertaubat sebelum tertangkap, semisal menyerahkan
diri dan menyatakan taubat dengan kesadaran sendiri, maka gugurlah had. Hal ini
didasarkan pada firman Allah Swt :
إِلَّا
الَّذِيْنَ تَابُوْا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوْا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوْا أَنَّ
اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
Artinya :” Kecuali orang – orang yang taubat (diantara mereka)
sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka, maka ketahuilah bahwasannya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.Al – Maidah : 34)
Diisyaratkan dalam ayat tersebut bahwa
Allah Swt akan mengampuni mereka (perampok, penyamun, perompak) yang bertaubat
sebelum tertangkap. Ayat ini menunjukkan bahwa had yang merupakan hak Allah
dapat gugur, jika yang bersangkutan bertaubat sebelum tertangkap.
e.
Hikmah pengharaman merampok, menyamun dan merompak
Prinsipnya, hikmah pengharaman merampok,
menyamun, dan merompak sama dengan hikmah pengharaman mencuri
VI. BUGHAT (PEMBANGKANG)
a.
Pengertian bughat
Kata بُغَاةٌ adalah jamak dari isim fail بَاغٍ. Akar katanya بَغَى - يَبْغِي
yang berarti : mencari, dan dapat pula berarti maksiat, melampaui batas,
berpaling dari kebenaran, dan dzalim.
Adapun
bughat dalam pengertian syara’ adalah orang-orang yang menentang
atau memberontak pemimpin Islam yang terpilih secara syah. Tindakan yang
dilakukan bughat bisa berupa memisahkan diri dari pemerintahan yang syah,
membangkang perintah pemimpin, atau menolak berbagai kewajiban yang dibebankan
kepada mereka.
Seorang
baru bisa dikategorikan sebagai bughat dan dikenai had bughat jika beberapa
kriteria ini melekat pada diri mereka:
1. Memiliki kekuatan, baik berupa pengikut
maupun senjata. Dari kriteria ini bisa disimpulkan bahwa penentang imam yang
tak memiliki kekuatan dan senjata tidak bisa dikategorikan sebagai bughat.
2, Memiliki takwil (alasan) atas tindakan
mereka keluar dari kepemimpinan imam atau tindakan mereka menolak kewajiban.
3. Memiliki
pengikut yang setia kepada mereka.
4. Memiliki
imam yang ditaati.
b. Tindakan hukum terhadap bughat
Para bughat harus diusahakan sedemikian rupa agar
sadar atas kesalahan yang mereka lakukan, hingga akhirnya mau kembali taat
kepada imam dan melaksanakan kewajiban mereka sebagai warga negara.
Proses penyadaran kepada mereka harus dimulai dengan
cara yang paling halus. Jika cara tersebut tidak berhasil maka boleh digunakan
cara yang lebih tegas. Dan jika cara tersebut masih juga belum berhasil, maka
digunakan cara yang paling tegas.
Berikut urutan tindakan hukum terhadap bughat sesuai
ketentuan fiqh Islam:
1. Mengirim utusan kepada mereka agar
diketahui sebab–sebab pemberontakan yang mereka lakukan. Apabila sebab – sebab itu karena ketidaktahuan mereka
atau keraguan mereka, maka mereka harus diyakinkan hingga ketidak tahuan atau
keraguan itu hilang.
2. Apabila tindakan pertama tidak berhasil,
maka tindakan selanjutnya adalah menasehati dan mengajak mereka agar mau
mentaati imam yang sah.
3. Jika usaha kedua tidak berhasil maka
usaha selanjutnya adalah memberi ultimatum atau ancaman bahwa mereka akan diperangi. Jika setelah munculnya
ultimatum itu mereka meminta waktu, maka harus diteliti terlebih dahulu apakah
waktu yang diminta tersebut akan digunakan untuk memikirkan kembali pendapat
mereka, atau sekedar untuk mengulur waktu. Jika ada indikasi jelas bahwa mereka
meminta penguluran waktu untuk merenungkan pendapat-pendapat mereka, maka
mereka diberi kesempatan, akan tetapi sebaliknya, jika didapati indikasi bahwa
mereka meminta penguluran waktu hanya untuk mengulur-ulur waktu maka mereka tak
diberi kesempatan untuk itu.
4. Jika mereka tetap tidak mau taat, maka
tindakan terakhir adalah diperangi sampai mereka sadar dan taat kembali.
c. Status Hukum Pembangkang
Kalangan bughat tidak dihukumi kafir. Allah sampaikan
hal ini dalam firman-nya pada surat
al-Hujurat ayat 9:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اِقْتَتَلُوْا فَأَصْلِحُوْا...
Artinya : “ Dan jika dua golongan dari orang – orang mukmin
berperang, maka damaikanlah antara keduanya.”(Q.S. al-Hujurat: 4)
Pembangkang
yang taubat, taubatnya diterima dan ia tidak boleh dibunuh. Oleh sebab itu,
para bughat yang tertawan tidak boleh diperlakukan secara sadis, lebih-lebih
dibunuh. Mereka cukup ditahan saja hingga sadar.
Adapun
harta mereka yang terampas tidak boleh disamakan dengan ghanimah. Karena
setelah mereka sadar, harta tersebut kembali menjadi harta mereka. Bahkan jika
didapati kalangan bughat yang terluka saat perang, mereka tidak boleh serta
merta dibunuh. Terkait hal ini Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan bahwa kala terjdi
perang Jamal, Ali menyuruh agar diserukan: “Yang telah mengundurkan diri jangan
dikejar, yang luka-luka jangan segera dimatikan, yang tertangkap jangan
dibunuh, dan barang siapa yang meletakkan senjatanya harus diamankan.”
RANGKUMAN MATERI
·
Hudud adalah
pembeda di antara dua hal, antara halal dan haram. Pembahasan mengenai hudud di
bagi menjadi enam macam yaitu masalah zina, qadzaf/menuduh orang lain berbuat
zina, miras, mencuri, hirabah dan bughah. Keenam hal tersebut harus kita
hindari.
Ø Zina adalah perbuatan keji yang dilarang Allah. Perbuatan zina akan
menurunkan derajat kehidupan manusia.
ü Zina dibagi menjadi dua macam, pertama: zina muhson yaitu praktik
zina yang dilakukan oleh orang yang sudah pernah berkeluarga. Hukumannya,
dirajam hingga mati. Kedua: zina ghairu muhson, yaitu praktik zina yang
dilakukan oleh seseorang yang belum menikah. Hukumannya didera 100 kali
ditambah dengan hukuman pengasingan selama satu tahun (menurut pendapat
sebagian ulama).
Ø Qadzaf adalah menuduh wanita baik-baik melakukan praktik zina.
ü Penuduh yang tidak dapat mengemukakan 4 orang saksi didera 80 kali.
Ø Miras adalah segala jenis minuman atau lainnya
yang dapat memabukkan / menghilangkan kesadaran. Miras berdampak pada sisi
jasmani dan rohani.
ü Peminum minuman keras didera 40 kali.
Sedangkan Imam Abu Hanifah, Imam Malik
dan Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa pukulan dalam had minum-minuman
keras adalah 80 (delapan puluh) kali.
Ø Mencuri adalah perbuatan seorang mukallaf
(baligh dan berakal) mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi,
mencapai jumlah satu nishab dari tempat simpanannya, dan orang-orang yang
mengambil tersebut tidak mempunyai andil pemilikan terhadap barang yang
diambil.
ü Hukuman bagi pelakunya adalah potong tangan
dan kaki secara silang.
Ø Hirabah ( menyamun, merampok dan merompak) berarti
mengambil harta orang lain dengan kekerasan/ancaman senjata dan kadang-kadang
disertai dengan pembunuhan.
Ø Bughah adalah pemberontakan orang-orang Islam terhadap imam
(pemerintah yang sah) dengan cara tidak mentaati dan ingin melepaskan diri atau
menolak kewajiban dengan memiliki kekuatan, argumentasi dan pemimpin.
ü Bughat yang tetap membangkang setelah
dinasehati dan diajak untuk taat kepada imam diultimatum untuk diperangi. Jika
mereka masih juga membangkang, maka mereka benar-benar diperangi sampai sadar
dan taat kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar