KOMPETENSI INTI (KI)
1.
Menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam.
2. Menghayati dan mengamalkan perilaku
jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran,
damai), santun, responsif dan pro -aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian
dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan
lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa
dalam pergaulan dunia.
3. Memahami, menerapkan, menganalisis
pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingintahunya
tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan
kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena
dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang
spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan.
4. Mengolah, menalar, dan menyaji
dalam ranah konkrit dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang
dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metoda sesuai
kaidah keilmuan.
KOMPETENSI
DASAR (KD)
2.2.
Menunjukkan sikap adil dan tanggungjawab dalam penerapan materi hukum hudud.
2.3.Menunjukkan
sikap adil dan tanggungjawab dalam penerapan materi hukum bughat.
3.2.
Menjabarkan ketentuan Allah tentang hudud dan hikmahnya.
3.3.Memahami
hukum Islam tentang bughat dan hikmahnya.
4.2 Menunjukkan contoh pelanggaran yang terkena
ketentuan hudud.
4.3.Menunjukkan contoh pelanggaran yang terkena ketentuan
bughat.
TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Siswa dapat menjelaskan larang
perzinaan.
2. Siswa dapat menjelaskan sebab
perbuatan zina, miras, mencuri dan bughat.
3. Siswa dapat menunjukkan dasar hukum
larangan zina, miras, mencuri dan bughat.
4. Siswa dapat menunjukkan akibat
perbuatan zina, miras, mencuri dan bughat.
5. Siswa dapat mengontrol diri untuk senantiasa
menjauhi jaraimul hudud (perbuatan-perbuatan yang menyebabkan pelakunya dikenai
hukuman had).
PETA
KONSEP
Hudud
|
4. Mencuri,
|
3.Minuman keras
|
2. Qadzaf
|
1.
Zina
|
6.
Merampok
|
7. Bughat
|
5. Menyamun
|
PENDAHULUAN
Masih banyak fenomena praktik kemaksiatan yang terjadi di
lingkungan masyarakat. Sebagian kalangan pengumbar nafsu melakukan perbuatan
keji zina, sekelompok pemuda harus menyudahi hidupnya karena meneguk minuman
keras, berbagai kasus pencurian dan perampokan merebak dimana-mana, belum lagi
keinginan sempalan-sempalan aliansi kecil yang tidak puas dengan kinerja
pemerintah yang ingin mendirikan sebuah negara, serta berbagai kasus kejahatan
lain yang belum terungkap dan
membutuhkan solusi tepat. Berbagai problematika ini dalam ranah fiqh
masuk dalam pembahasan “hudud”.
Dalam fiqih Islam kata hudud adalah bentuk jama’ dari kata haad
yang berarti pembatas. Had dapat berarti umum dan khusus. Pengertian had secara
umum adalah hukum-hukum syara’ yang disyari’atkan Allah bagi hamba-Nya yang
berupa ketetapan hukum halal atau haram. Hukum – hukum tersebut dinamakan hudud
karena membedakan antara jenis perbuatan yang boleh dikerjakan atau yang tidak
boleh dikerjakan, antara yang halal dan yang haram.
Sedangkan
pengertian secara khusus hudud adalah hukuman-hukuman tertentu yang ditetapkan
oleh syara’ sebagai sangsi hukum terhadap perbuatan kejahatan selain pembunuhan
dan penganiayaan, seperti hukuman berzina, qadzaf, mencuri, minim-minuman
keras, merampok dan bughat.
Hukuman terhadap kejahatan selain pembunuhan dan penganiayaan ini
disebut hudud dimana jenis dan jumlahnya ditetapkan dalam nash al-qur’an
atau hadits. Sedangkan hukuman yang tidak ditetapkan dalam dalil nash melainkan
diserahkan pada keputusan pengadilan (kebijaksanaan hakim) disebut ta’zir.
Ta’zir ini berlaku atas kejahatan, baik yang menyangkut hak Allas Swt
maupun hak hamba.
Hukuman dalam bentuk had berbeda dengan hukuman dalam bentuk
qishash, walaupun sebagian ada yang jenisnya sama, karena had
merupakan hak Allah Swt sedangkan qishash adalah hak hamba. Had
tidak bisa gugur karena dimaafkan oleh pihak yang dirugikan sedangkan qishash
dapat gugur jika pihak yang dirugikan memaafkan.
Kejahatan yang diancam dengan hukuman had adalah; zina, qadzaf
(menuduh zina), minum – minuman keras, mencuri, merampok, dan bughat
(memberontak)
A.
MENGAMATI
Amati gambar di bawah ini dengan
seksama:
Setelah anda
mengamati gambar disamping buat daftar komentar atau pertanyaan yang
relevan
1.
…………………………………………….
…………………………………………….
……………………………………………..
2.
…………………………………………….
…………………………………………….
…………………………………………….
3.
……………………………………………
……………………………………………..
……………………………………………..
|
Setelah anda
mengamati gambar disamping buat daftar komentar atau pertanyaan yang
relevan
1.
…………………………………………….
…………………………………………….
……………………………………………..
2.
…………………………………………….
…………………………………………….
…………………………………………….
3.
……………………………………………
……………………………………………..
……………………………………………..
|
B.
MENANYA
-
Menurut kalian,
apakah berpacaran dengan berbagai macam aktivitas negatifnya seperti –maaf-
saling berpegangan, berpelukan, dan berciuman masuk dalam kategori zina?
Hukuman apakah yang seharusnya ditetapkan bagi pelaku perbuatan tersebut?
-
Apakah praktik
korupsi yang dilakukan para pejabat negara bisa dikategorikan “pencurian” yang
pelakunya dikenai had potong tangan, atau tindakan tersebut masuk dalam ranah
apa dan konsekuensi hukuman apa yang seharusnya diterima pelakunya?
-
Apakah
mencemarkan nama baik seseorang dengan menyebarkan berbagai macam informasi palsu
bisa disejajarkan dengan qadzaf? Hukuman apakah yang seharusnya ditetapkan bagi
pelaku perbuatan tersebut?
C.
MATERI / EKSPLORASI
HUDUD
Hudud adalah bentuk jamak dari kata
had yang berarti pembatas antara dua hal.
الْحَدُّ فِى الْأَصْلِ:
الشَّيْئُ الْحَاجِزُ بَيْنَ الشَّيْئَيْنِ
Artinya : “Had makna asalnya adalah, sesuatu yang membatasi dua
hal.”
Adapun
secara bahasa, arti had adalah pencegahan. Berbagai hukuman perbuatan maksiat
dinamakan had karena umumnya hukuman-hukuman tersebut dapat mencegah pelaku
maksiat untuk kembali kepada kemaksiatan yang pernah ia lakukan. Hukuman had
merupakan media penjera pelaku maksiat hingga ia tak mau mengulangi
kemaksiatannya.
Sedangkan
menurut istilah syar’i, hudud adalah hukuman-hukuman tertentu yang telah ditetapkan
Allah sebagai sanksi hukum terhadap pelaku tindak kejahatan selain pembunuhan
dan penganiayaan. Tujuan inti dari hudud yaitu mewujudkan kemaslahatan manusia.
Dalam
istilah fiqh, berbagai tindak kejahatan yang diancam dengan hukuman had
diistilahkan dengan jaraimul hudud. Macam jaraimul hudud yang
senantiasa dikupas dalam berbagai referensi fiqh adalah;
1. Zina
2. Qadhaf (menuduh wanita baik-baik
berbuat zina)
3. Mencuri
4. Meminum minuman keras
5. Murtad
6. Bughat
7. Hirabah (mengambil harta orang lain dengan kekerasan / ancaman
senjata, dan terkadang diikuti dengan aksi pembunuhan).
Hukuman
dalam bentuk had berbeda dengan hukuman dalam bentuk qishash –walaupun sebagian
ada yang jenisnya sama-. Karena had merupakan hak Allah Swt sedangkan qishash adalah
hak hamba. Had tidak bisa gugur karena dimaafkan oleh pihak yang dirugikan.
Sedangkan qishash dapat gugur jika pihak yang dirugikan memaafkan.
I. ZINA
a. Pengertian
Zina
Zina
adalah memasukkan alat kelamin laki – laki ke dalam alat kelamin perempuan yang
mendatangkan syahwat, dalam persetubuhan yang haram menurut zat perbuatannya,
bukan karena syubhat.
Maksud
dari perempuan yang mendatangkan syahwat adalah seorang yang berjenis kelamin
perempuan baik yang dewasa (baligh) ataupun yang masih kecil. Dari pengertian
ini bisa disimpulkan bahwa persetubuhan dengan hewan ataupun mayat tidak bisa
dikategorikan zina. Pelaku tindak keji tersebut tidak terkena had. Walaupun
demikian, hakim atau penguasa berhak menta’zirnya (menghukumnya dengan
pertimbangan maslahat) hingga ia jera
dan menyadari bahwa perbuatan menyetubuhi hewan ataupun mayat adalah tindakan
haram yang harus dihindari.
Adapun
maksud dari persetubuhan yang haram menurut zat perbuatannya adalah hubungan
biologis antara laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri (hubungan
biologis illegal di luar nikah).
Sedangkan
maksud dari “bukan karena syubhat” adalah perzinaan yang terjadi bukan karena
seorang laki-laki mengira bahwa wanita yang ia setubuhi adalah pasangan yang
syah untuknya, seperti istrinya. Jika seorang laki-laki menyetubuhi seorang
wanita yang ia kira adalah istrinya, maka had tidak dikenakan untuknya.
b. Status hukum
zina
Sudah
menjadi ijma’ para ulama’ bahwa zina hukumnya haram dan termasuk salah satu
bentuk dosa besar. Allah Swt berfirman :
وَلَا تَقْرَبُوْا الزِّنَاصلى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلًا
Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina
itu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al – Isra’:32)
Keharaman zina juga dijelaskan dalam
berbagai riwayat. Diantaranya hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud
berikut:
قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ؟ قَالَ : أَنْ
تَجْعَلَ لِلّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ , قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ؟ أَنْ تَقْتٌلَ
وَلَدَكَ خَشْيَةً أَنْ يَأْكُلَ مَعَكَ, قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ : أَنْ
تُزَانِيَ حَلِيْلَةَ جَارِكَ
(رواه البخارى ومسلم)
Artinya : “Saya (Abdullah Ibnu Mas’ud) bertanya ; “Ya Rasulullah
dosa apakah yang paling besar?” Nabi menjawab : “Engkau menyediakan sekutu bagi
Allah Swt, padahal dia menciptakan kamu.” Saya bertanya lagi:”Kemudian (dosa)
apalagi?” Nabi menjawab :”Engkau membunuh anakmu karena khawatir jatuh miskin”
Saya bertanya lagi: “Kemudian apalagi?” Beliau menjawab : “Engkau berzina
dengan istri tetanggamu.” (HR.Bukhari dan Muslim)
c. Dasar
penetapan hukum Zina
Had
zina dapat dilaksanakan jika tertuduh diyakini benar – benar telah melakukan
perzinaan. Untuk itu diperlukan penetapan secara syara’. Rasulullah sangat hati
– hati dalam melaksanakan had zina ini. Beliau tidak akan melaksanakan had zina
sebelum yakin bahwa tertuduh benar – benar berbuat zina.
Berikut
dasar-dasar yang dapat digunakan untuk menetapkan bahwa seseorang telah
benar-benar berbuat zina:
1. Adanya empat orang saksi laki – laki yang adil. Kesaksian mereka
harus sama dalam hal tempat, waktu, pelaku dan cara melakukannya. Firman Allah
Swt:
وَالَّتِى
يَأْتِيْنَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوْا عَلَيْهِنَّ
أَرْبَعَةً مِنْكُمْصلى...
Artinya : “Dan (terhadap) wanita yang mengerjakan perbuatan keji
(berzina) hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang
menyaksikannya).”(QS.An – Nisa’:15)
2. Pengakuan pelaku zina,
sebagaimana dijelaskan dalam hadits Jabir bin Abdillah r.a. berikut ini:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِاللهِ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَجُلًا مِنْ
أَسْلَمَ أَتَى رَسُوْلَ اللهِ ص.م.فَحَدَّثَهُ أَنَّهُ قَدْ زَنَى فَشَهِدَ عَلَى
نَفْسِهِ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ فَأَمَرَ بِهِ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. فَرُجِمَ وَكَانَ
قَدْ أُحْصِنَ .(رواه البخاري)
Artinya : “Dari jabir bin Abdullah al – Anshari ra. Bahwa seorang
laki – laki dari Bani Aslam datang kepada Rasulullah dan menceritakan bahwa ia
telah berzina. Pengakuan ini diucapkan empat kali. Kemudian Rasul menyuruh
supaya orang tersebut dirajam dan orang tersebut adalah muhshan.” (HR. Muslim)
Sebagian
ulama’ ada yang berpendapat bahwa kehamilan perempuan tanpa suami dapat
dijadikan dasar penetapan perbuatan zina. Akan tetapi Jumhurul Ulama’
berpendapat sebaliknya. Kehamilan saja tanpa pengakuan atau kesaksian empat
orang yang adil tidak dapat dijadikan dasar penetapan zina.
Had
zina dapat dijatuhkan terhadap pelakunya, jika telah terpenuhi syarat – syarat
sebagai berikut :
1. Pelaku zina
sudah baligh dan berakal
2. Perbuatan zina
dilakukan tanpa paksaan
3. Pelaku zina
mengetahui bahwa konsekuensi dari perbuatan zina adalah had
4. Telah diyakini
secara syara’ bahwa pelaku tindak zina benar-benar melakukan perbuatan keji
tersebut.
d. Macam-macam zina dan hadnya
Dalam kajian Fiqh, zina dibedakan menjadi dua, pertama: zina
mukhshon, dan kedua: zina ghairu mukhshon.
1. Zina mukhshon yaitu perbuatan
zina yang dilakukan oleh seorang yang sudah menikah. Ungkapan “seorang yang
sudah menikah” mencakup suami, istri, janda, atau duda. Had (hukuman) yang diberlakukan kepada pezina
mukhshon adalah rajam.
Tekhnis
hukuman rajam yaitu, pelaku zina mukhshon dilempari batu yang berukuran sedang
hingga benar-benar mati. Batu yang digunakan tidak boleh terlalu kecil sehingga
memperlama proses kematian dan hukuman. Sebagaimana juga tidak dibolehkan
merajam dengan batu besar hingga menyebabkan kematian seketika yang dengan itu
tujuan “memberikan pelajaran” kepada pezina mukhshon tidak tercapai.
2. Zina Ghairu mukhshon yaitu zina
yang dilakukan oeh seseorang yang belum pernah menikah. Para ahli fiqh sepakat
bahwa had (hukuman) bagi pezina ghoiru mukhshon baik laki-laki ataupun
perempuan adalah cambukan sebanyak 100 kali.
Adapun hukuman pengasingan (taghrib
/ nafyun) para ahli fiqh berselisih pendapat.
Imam Syafi’i dan imam Ahmad berpendapat bahwa
had bagi pezina ghoiru mukhshon adalah cambukan sebanyak 100 kali dan
pengasingan selama 1 tahun.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa had bagi
pezina ghoiru mukhshon hanya cambukan sebanyak 100
kali. Pengasingan menurut Abu Hanifah hanyalah hukuman tambahan yang kebijakan
sepenuhnya dipasrahkan kepada hakim. Jika hakim memutuskan hukuman tambahan
tersebut kepada pezina ghoiru mukhshon, maka pengasingan masuk dalam kategori
ta’zir bukan had.
Imam Malik dan imam Auza’i berpendapat bahwa
had bagi pezina laki-laki merdeka ghoiru mukhshon adalah cambukan sebanyak 100
kali dan pengasingan selama 1 tahun, adapun peziina perempuan merdeka ghoiru
mukhshon hadnya hanya cambukan 100 kali. Ia tidak diasingkan karena wanita adalah aurat dan kemungkinan ia dilecehkan di
luar wilayahnya sangat besar.
Dalil yang menegaskan bahwa pezina
ghoiru mukhshon di kenai had berupa cambukan 100 kali dan pengasingan adalah;
Firman Allah ta’ala dalam surat an-Nur ayat 2:
الزَّانِيَةُ
وَالزَّانِى فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهٌمَامِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا
تَأْخُذْكُمْ بِهِمَارَأْفَةٌ فِى دِيْنِ اللهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْأَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ
الْمٌؤْمِنِيْنَ (رواه البخاري)
Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki – laki yang berzina
maka deralah pada tiap-tiap dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah
belas kasihan kepada mereka mencegah kamu
untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari
akhir, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan
dari orang – orang yang beriman.” (QS. An – Nur : 2)
Sabda Rasulullah Saw:
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَيني قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ ص.م.
يَأْمُرُ فِيْمَنْ زَنَى وَلَمْ يُحْصَنْ جَلْدَ مِائَةٍ وَ تَغْرِيْبَ عَامٍ.
(رواه البخاري)
Artinya : “ Dari Zaid bin Khalid Al-Juhaini, dia berkata : “Saya
mendengar Nabi menyuruh agar orang yang berzina dan ia bukan muhshan, didera
100 kali dan diasingkan selama satu tahun.”(HR. Bukhari)
e. Hikmah
diharamkannya zina
Zina merupakan sumber berbagai tindak kemaksiatan.
Diantara hikmah terpenting diharamkannya zina adalah:
1. Memelihara dan menjaga keturunan dengan baik. Karena anak hasil
perzinaan pada umumnya kurang terpelihara dan terjaga.
2. Menjaga harga diri dan kehormatan
manusia.
3. Menjaga ketertiban dan
keteraturan rumah tangga.
4. Memunculkan rasa kasih sayang
terhadap anak yang dilahirkan dari pernikahan syah.
II. QADZAF
a. Pengertian Qadzaf
Qadhaf secara bahasa memppunyai arti melempar dengan batu atau yang
semisalnya (ar-ramyu bil hijarah wa ghairiha). Adapun menurut istilah
syar’i qadhaf adalah melempar tuduhan zina kepada seorang yang dikenal baik
secara terang-terangan.
b.
Hukum Qadzaf
Qadzaf merupakan salah satu dosa besar
yang diharamkan syariat Islam. Diantara dalil-dalil yang menegaskan keharaman
qadzaf adalah:
Firman Allah ta’ala dalam an-Nur ayat 23-24:
إِنَّ
الَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوْا فِى
الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ .
Artinya : “Sesungguhnya orang – orang yang menuduh wanita yang
baik – baik, yang lengah (dari perbuatan keji) lagi beriman (berzina), mereka
kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar” (QS.An – Nur
: 23 – 24)
Sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan Abu
Hurairah r.a.:
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص.م. قَالَ :
اِجْتَنِبْ السَّبْعَ الْمُوْبِيْقَاتِ قِيْلَ : وَمَا هُنَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟
قَالَ : الشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللهُ
إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ
وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ.(رواه البخاري ومسلم)
Artinya :”Dari Abu Hurairah ra. Nabi bersabda : “ Jauhilah
olehmu tujuh (perkara) yang membinasakan”, Nabi ditanya : “Apa saja perkara itu,
ya Rasulullah?” Rasul menjawab : “ Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa
yang diharamkan Allah kecuali dengan jalan yang sah menurut syara’, memakan
riba, memakan harta anak yatim, berpaling dari medan perang, dan menuduh zina
wanita baik – baik yang tak pernah ingat berbuat keji, lagi beriman.” (H.R.
Bukhori Muslim)
c.
Had qadzaf
Had (hukuman) bagi pelaku qadzaf adalah
cambukan sebanyak 80 kali bagi yang merdeka,
dan cambukan 40 kali bagi budak, karena hukuman budak setengah hukuman
orang yang merdeka.
Allah Swt berfirman dalam surat
an-Nur ayat 4:
وَالَّذِيْنَ
يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءِ
فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمَانِيْنَ جَلْدَةً وَلَاتَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًاجوَأُولئِكَ
هُمُ الْفَاسِقُوْنَ
Artinya : ”Dan orang – orang yang menuduh wanita yang baik –
baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka
deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selamanya. Dan mereka itulah orang – orang yang fasik. (QS. An-Nur : 4)
d.
Syarat – syarat berlakunya had qadzaf
Had qadzaf wajib dijatuhkan terhadap
penuduh zina jika memenuhi syarat – syarat berikut :
1. Tertuduh berzina adalah mukhshon. Pengertian mukhshon dalam
qadzaf berbeda dengan mukhshon dalam masalah zina. Dalam qadzaf, mukhshon
adalah orang baik yang benar-benar tidak berzina. Adapun mukhshon dalam
pembahasan zina adalah seorang yang sudah pernah menikah.
2. Penuduh baligh dan berakal
3. Tuduhan berzina benar – benar sesuai aturan syara’, dimana saksi
dalam kasus qadzaf adalah 2 orang laki-laki adil yang menyatakan bahwa penuduh
telah menuduh orang baik-baik berbuat zina atau pengakuan dari penuduh sendiri
bahwa dirinya telah menuduh orang baik-baik berbuat zina.
f. Gugurnya had
qadzaf
Seorang
yang menuduh orang baik-baik berzina bisa terlepas dari had qadzaf jika salah
satu dari tiga hal di bawah ini terjadi:
1. Penuduh dapat menghadirkan empat orang saksi laki – laki adil
bahwa tertuduh benar – benar telah berzina.
2. Li’an (sumpah seorang suami atas nama Allah Swt sebanyak 4
kali), jika suami menuduh istri berzina sedang dirinya tak mampu menghadirkan 4
saksi adil.
3. Tertuduh memaafkan.
g.
Hikmah dilarangnya qadzaf
Efek negatif yang
dimunculkan qadzaf adalah tercemarnya nama baik tertuduh, serta jatuhnya harga
diri dan kehormatannya di mata masyarakat. Karenanya, Islam mengharamkan qadzaf
dan menetapkan had bagi pelakunya. Diantara hikmah terpenting penetapan had
qadzaf adalah:
1. Menjaga kehormatan
diri seseorang di mata masyarakat
2. Agar seseorang
tidak begitu mudah melakukan kebohongan dengan cara menuduh orang lain berbuat
zina
3. Agar si penuduh
merasa jera dan sadar dari perbuatannya yang tidak terpuji
4. Menjaga
keharmonisan pergaulan antar sesama anggota masyarakat
5. Mewujudkan keadilan
dikalangan masyarakat berdasarkan hukum yang benar
III. MEMINUM MINUMAN KERAS
a.
Pengertian Minuman Keras (Khamr)
Dalam bahasa Arab minuman keras disebut
khamr. Secara definisi bahasa khamr mempunyai arti penutup akal. Sedangkan
menurut istilah syar’i khamr adalah segala jenis minuman atau selainnya yang
memabukkan dan menghilangkan fungsi akal.
Berpijak dari definisi syar’i ini, cakupan
khamr tidak hanya terkait dengan minuman, akan tetapi segala sesuatu yang
dikonsumsi baik makanan atau minuman yang memabukkan dan membuat manusia tidak
sadar, semisal ganja, heroin, obat bius dan lain sebagainya bisa disebut khamr.
Rasulullah Saw bersabda:
كُلُّ
مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ. (رواه مسلم)
Artinya : “Tiap – tiap yang memabukkan disebut khamr, dan tiap –
tiap khamr hukumnya haram.”(HR. Muslim)
b.
Hukum Minuman Keras
Sudah menjadi ijma’ ulama’ bahwa hukum
minuman keras (khamr) haram. Mengkonsumsi minuman keras merupakan dosa besar.
Diantara dalil yang menegaskan keharaman minuman keras adalah:
Firman Allah ta’ala dalam surat al-Maidah
ayat 90:
يَا
أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَ الْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ
وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُوْنَ
Artinya : “Hai orang – orang yang beriman, sesungguhnya
(minuman) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak
panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan. Maka jauhilah
perbuatan – perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”(QS. Al – Maidah :
90)
Sabda Rasulullah Saw:
عَنْ عَبْدِالله
بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ الله ص.م. قَالَ : مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِى
الدُّنْيَا ثُمَّ لَمْ يَتُبْ مِنْهَا حَرَّمَهَا فِى الْأَخِرَةِ (رواه مسلم)
Artinya : ” Dari Abdullah bin Umar, Rasullah bersabda : “Barang
siapa meminum khamr di dunia dan ia tidak bertaubat maka (Allah)
mengharamkannya di akhirat”(HR. Bukhari)
c.
Had Minuman Keras
Sebagaimana ulama’ telah sepakat akan
haramnya minuman keras, mereka juga sepakat bahwa orang yang meminumnya wajib
dikenai hukuman (had), baik ia mengkonsumsi sedikit atau banyak. Landasan
syar’i terkait hal ini adalah:
Sabda Rasulullah Saw:
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ر.ض. أَنَّ النَّبِيَّ أُتِيَ بِرَجُلٍ شَرِبَ الْخَمْرَ
فَجَلَدَهُ بِجَرِيْدَتَيْنِ نَحْوَ أَرْبَعِيْنَ.(متفق عليه)
Artinya : ”Dari Anas bin Malik ra, dihadapkan kepada Nabi saw
seorang yang telah minum minuman keras, kemudian beliau menjilidnya dengan dua
tangkai pelepah kurma kira – kira 40 kali.” (Muttafiq Alaih)
Para ulama berbeda pendapat mengenai
jumlah pukulan bagi peminum khamr. Berikut ringkasan khilaf (perbedaan
pendapat) mereka:
1. Jumhurul ulama’ (mayoritas ulama)
diantaranya Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hambal berpendapat
bahwa jumlah pukulan dalam had minuman keras 80 kali.
Alasan
mereka, bahwa para sahabat di zaman umar bin khatthab pernah bermusyawarah
untuk menetapkan seringan-ringannya hukuman had. Kemudian mereka bersepakat
bahwa jumlah minimal had adalah pukulan sebanyak 80 kali. Dari kesepakatan
inilah, selanjutnya Umar menetapkan bahwa had bagi peminum khamr adalah pukulan
sebanyak 80 kali.
\
2. Imam syafi’i, Abu Daud dan ulama’
Dzahiriyyah berpendapat bahwa jumlah had minuman keras adalah 40 kali, tetapi
imam/hakim boleh menambahkannya sampai 80 kali. Tambahan 40 kali merupakan
ta’zir yang merupakan hak imam/hakim.
Alat pukul yang digunakan untuk
menghukum peminum khmar bisa berupa sepotong kayu, sandal, sepatu, tongkat,
tangan, atau alat pukul lainnya.
d. Hikmah diharamkannya minuman keras
Diantara
hikmah terpenting diharamkannya minuman keras adalah:
1. Masyarakat terhindar dari kejahatan seseorang yang diakibatkan
pengaruh minuman keras. Peminum minuman keras yang sudah sampai level “pecandu”
tidak akan mampu menghindar dari tindak kejahatan/kemaksiatan. Karena minuman
keras merupakan induk segala macam bentuk kejahatan. Maka, ketika minuman keras
diharamkan dan kebiasaan meminumnya bisa dihilangkan, secara otomatis berbagai
tindak kejahatan akan sirna, atau paling minimal menurun drastis.
2. Menjaga kesehatan jasmani dan rohani dari berbagai penyakit yang
disebabkan oleh pengaruh minuman keras seperti busung lapar, hilang ingatan,
atau berbagai penyakit berbahaya lainnya.
3. Masyarakat terhindar dari siksa kebencian dan permusuhan yang
diakibatkan oleh pengaruh minuman keras. Sebagaimana maklum adanya, minuman
keras selain mengakibatkan berbagai macam penyakit juga menjadikan mental
pecandunya tidak stabil. Pecandu minuman keras akan mudah tersinggung dan salah
paham hingga dirinya akan selalu diselimuti kebencian dan permusuhan.
4. Menjaga hati agar tetap bersih, jernih, dan dekat kepada Allah
ta’ala. Karena minuman keras akan mengganggu kestabilan jasmani dan rohani.
Hati pecandu minuman keras hari demi hari akan semakin jauh dari Allah. Hatinya
menjadi gelap, keras hingga ia tak sungkan-sungkan melakukan pelanggar terhadap
aturan syar’i.
IV. MENCURI
a.
Pengertian Mencuri
Secara arti bahasa mencuri adalah mengambil harta atau selainnya
secara sembunyi-sembunyi. Dari arti bahasa ini muncul ungkapan “fulân
istaroqo as-sam’a wa an-nadhoro” (Fulan mencuri pendengaran atau
penglihatan).
Sedangkan menurut istilah syara’ mencuri adalah,
هِيَ أَخْذُ الْمُكَلَّفِ – أَيْ الْبَالِغِ الْعَاقِلِ – مَالَ
الْغَيْرِ خَفْيَةً إِذَا بَالَغَ نِصَابًا مِنْ حِرْزٍ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُوْنَ
لَهُ شُبْهَةٌ فِى هَذَا الْمَالِ الْمَأْخُوْذِ
Artinya
: “Mukallaf yang mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi, jika harta tersebut mencapai satu nishab,
terambil dari tempat simpanannya, dan orang yang mengambil tidak mempunyai
andil kepemilikan terhadap harta tersebut.”
Berpijak dari pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa praktik pencurian yang pelakunya diancam dengan hukuman had
memiliki beberapa syarat berikut ini:
1. Pelaku pencurian adalah
mukallaf
2. Barang yang dicuri milik
orang lain
3. Pencurian dilakukan
dengan cara diam – diam atau sembunyi – sembunyi
4. Barang yang dicuri
disimpan di tempat penyimpanan
5. Pencuri tidak memiliki
andil kepemilikan terhadap barang yang dicuri. Jika pencuri memiliki andil
kepemilikan seperti orang tua yang mencuri harta anaknya maka orang tua
tersebut tidak dikenai hukuman had, walaupun ia mengambil barang anaknya yang
melebihi nishab pencurian.
6. Barang yang dicuri
mencapai jumlah satu nisab
Praktik pencurian yang tidak memenuhi
syarat-syarat di atas pelakunya tidak dikenai had. Pun demikian, hakim berhak
menjatuhkan hukuman ta’zir kepadanya.
b.
Pembuktian praktik pencurian
Disamping syarat – syarat di atas, had
mencuri tidak dapat dijatuhkan sebelum tertuduh praktik pencurian benar-benar
diyakini –secara syara’- telah melakukan pencurian yang mengharuskannya dikenai
had. Tertuduh harus dapat dibuktikan melalui salah satu dari tiga kemungkinan
berikut:
1. Kesaksian dari
dua orang saksi yang adil dan merdeka
2. Pengakuan dari
pelaku pencurian itu sendiri
3. Sumpah dari
penuduh.
Jika
terdakwa pelaku pencurian menolak tuduhan tanpa disertai sumpah, maka hak
sumpah berpindah kepada penuduh. Dalam situasi semisal ini, jika penuduh berani
bersumpah, maka tuduhannya diterima dan secara hukum tertuduh terbukti
melakukan pencurian
c.
Had Mencuri
Jika praktik pencurian telah memenuhi
syarat-syarat sebagaimana dijelaskan di atas, maka pelakunya wajib dikenakan
had mencuri, yaitu potong tangan. Allah Swt berfirman dalam surat al-Maidah
ayat 38:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً
بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللهِ
وَاللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Artinya : “Laki – laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri
potonglah kedua tangannya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS.Al
Maidah : 38)
Ayat di atas menjelaskan had pencurian
secara umum. Adapun tekhnis pelaksanaan had pencurian yang lebih detail
dijelaskan dalam hadits Rasulullah berikut:
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ ص.م. قَالَ فِى السَّارِقِ
إِنْ سَرِقَ فَاقْطَعُوْا يَدَهُ ثُمَّ إِنْ سَرِقَ فَاقْطَعُوْا رِجْلَهُ إِنْ
سَرِقَ فَاقْطَعُوْا يَدَهُ ثُمَّ إِنْ سَرِقَ فَاقْطَعُوْا رِجْلَهُ (رواه الشافعي)
Artinya : “Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah
bersabda mengenai pencuri : “jika ia mencuri (kali pertama) potonglah satu
tangannya, kemudian jika ia mencuri (kali kedua) potonglah salah satu kakinya,
jika ia mencuri (kali ketiga) potonglah tangannya (yang lain), kemudian jika ia
mencuri (kali keempat) potonglah kakinya (yang lain).
Bersandar pada hadits tersebut sebagian
ulama diantaranya imam Malik dan imam Syafi’i berpendapat bahwa had mencuri
mengikuti urutan sebagaimana berikut:
1. Potong tangan kanan jika
pencurian baru dilakukan pertama kali
2. Potong kaki kiri jika
pencurian dilakukan untuk kali kedua
3. Potong tangan kiri jika
pencurian dilakukan untuk kali ketiga
4. Potong kaki kanan jika
pencurian dilakukan untuk kali keempat
5. Jika pencurian dilakukan
untuk kelima kalinya maka hukuman bagi pencuri adalah ta’zir dan ia
dipenjarakan hingga bertaubat.
Sebagian
ulama’ lain diantaranya Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat bahwa
hukuman potong tangan dan kaki hanya berlaku sampai pencurian kedua, yakni
potong tangan kanan untuk pencurian pertama dan potong kaki kiri untuk
pencurian kedua, sedangkan untuk pencurian ketiga dan seterusnya hukumannya
adalah ta’zir.
d.
Nisab (kadar) barang yang dicuri.
Para
ulama berbeda pendapat terkait nisab (kadar minimal) barang yang dicuri.
Menurut madzhab hanafi nishab barang curian
adalah 10 dirham
Menurut jumhur ulama nishab barang curian
adalah ¼ dinar emas, atau tiga dirham perak.
Dalil
yang dijadikan sandaran jumhur ulama terkait penetapan had nishab ¼ dinar emas
atau tiga dirham perak adalah:
Hadits yang diriwayatkan imam Muslim dalam
kitab shahihnya dan imam Ahmad dalam kitab musnadnya, dimana Rasulullah Saw
bersabda:
لَا تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ إِلَّا فِى
رُبْعِ دِيْنَارٍ فَصَاعِدًا
Artinya: “Tidak dipotong tangan seorang pencuri
kecuali jika ia mencuri sebanyak ¼ dinar atau lebih”
Dan dalam riwayat imam Bukhori dengan lafadz:
تُقْطَعُ الْيَدُ فِى رُبْعِ دِيْنَارٍ
فَصَاعِدًا
Artinya:”Tangan dipotong (pada pencurian) ¼ dinar atau
lebih.”
Adapun tentang harga dinar atau dirham selalu
berubah-ubah. Satu dinar emas diperkirakan seharga 10-12 dirham. Jika
dihargakan dengan emas, satu dinar setara dengan 13,36 gram emas. Jadi
diperkirakan nishab barang curian adalah 3,34 gram emas (1/4 dinar).
e. Pencuri yang dimaafkan
Ulama’
sepakat bahwa pemilik barang yang dicuri dapat memaafkan pencurinya, sehingga pencuri bebas dari had
sebelum perkaranya sampai ke pengadilan. Karena had pencuri merupakan hak hamba
(hak pemilik barang yang dicuri).
Jika
perkaranya sudah sampai ke pengadilan, maka had pencuri pindah dari hak hamba
ke hak Allah. Dalam situasi semisal ini, had tersebut tidak dapat gugur
walaupun pemilik barang yang dicuri memaafkan pencuri.
Teks
syar’i yang menjelaskan tentang masalah tersebut adalah, hadits riwayat Abu
Dawud dan Nasa’i berikut:
رَوَي
عَمْرُوْ بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص.م.
قَالَ: تَعَافُوْا الْحُدُوْدَ فِيْمَا بَيْنَكُمْ فَمَا بَلَغَنِيْ مِنْ حَدٍّ
فَقَدْ وَجَبَ (رواه أبوا داود والنّسائي)
Artinya :” Diriwayatkan dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya, dari
kakeknya: “Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda : “ Maafkanlah had selama masih
berada ditanganmu, adapun had yang sudah sampai kepadaku, maka wajib
dilaksanakan.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
f.
Hikmah had bagi pencuri
Adapun hikmah dari had mencuri
antara lain sebagai berikut :
1. Seseorang tidak akan dengan mudah mengambil barang orang lain
karena hal tersebut akan memunculkan efek ganda. Ia akan menerima sanksi moral
yaitu malu, sekaligus mendapatkan sanksi yang merupakan hak adam yaitu had.
2. Seseorang akan memahami betapa hukum Islam benar-benar
melindungi hak milik seseorang. Karunia Allah terkait harta manusia bukan hanya
dari sisi jumlahnya, lebih dari itu, saat harta tersebut telah dimiliki secara
syah melalui jalur halal, maka ia akan mendapatkan jaminan perlindungan.
3. Menghindarkan manusia dari sikap malas. Mencuri selain merupakan
cara singkat memiliki sesuatu secara tidak syah, juga merupakan perbuatan tidak
terpuji yang akan memunculkan sifat malas. Sifat ini jelas bertentangan dengan
nilai-nilai Islam.
4. Membuat jera pencuri hingga
dirinya terdorong untuk mencari rizki yang halal.
V. PENYAMUN, PERAMPOK, DAN PEROMPAK
a.
Pengertian penyamun, perampok, dan perompak
Penyamun, perampok, dan perompak
adalah istilah yang digunakan untuk pengertian “mengambil harta orang lain
dengan menggunakan jalur kekerasan atau mengancamnya dengan senjata dan
terkadang disertai dengan pembunuhan”. Perbedaannya hanya ada pada tempat
kejadiannya;
menyamun
dan merampok di darat
sedangkan merompak di laut
Dalam kajian fiqh, praktik menyamun, merampok, atau merompak masuk
dalam pembahasan hirâbah atau qat’ut tharîq (penghadangan di
jalan).
b. Hukum penyamun, perampok, dan perompak
Seperti diketahui merampok,
menyamun dan merompak merupakan kejahatan yang bersifat mengancam harta dan
jiwa. Kala seseorang merampas harta orang lain, dosanya bisa lebih besar dari
dosa seorang pencuri. Karena dalam praktik perampasan harta ada unsur
kekerasan.
Dan jika perampas harta
sampai membunuh korbannya, maka dosanya menjadi lebih besar lagi, karena ia
telah melakukan perbuatan dosa besar yang jelas-jelas diharamkan agama.
Maka wajar adanya, jika
perampok, penyamun, dan perompak mendapatkan hukuman ganda. Ia dikenai had, dan
diancam hukuman akhirat yang berupa adzab dahsyat. Allah Swt berfirman:
... وَلَهُمْ فِى الْأَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
Artinya : “ … dan di akhirat mereka ( para penyamun) beroleh
siksaan yang besar.” (QS. Al – Maidah : 33)
c.
Had perampok, penyamun, dan perompak
Had perampok, penyamun,
dan perompak secara tegas dinyatakan dalam al-Qur’an, surat al-Maidah ayat 33:
إِنَّمَا
جَزَاءُ الَّذِيْنَ يُحَارِبُوْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فِى الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ
يُقْتَلُوْا أَوْ يُصَلَّبُوْا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيْهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ
خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِى الدُّنْيَا وَ
لَهُمْ فِى الْأَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
Artinya : “ Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang – orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan
membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik (secara silang) atau dibuang dari
negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk
mereka di dunia dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar…” ( QS. Al –
Maidah :33)
Dari ayat di atas para
ulama sepakat bahwa had perampok, penyamun, dan perompak berupa : potong tangan
dan kaki secara menyilang, disalib, dibunuh dan diasingkan dari tempat
kediamannya.
Kemudian para
ulama berbeda pendapat mengenai had yang disebutkan dalam ayat tersebut, apakah
ia bersifat tauzî’î dimana satu hukuman disesuaikan dengan perbuatan
yang dilakukan seseorang, atau had tersebut bersifat takhyîrî sehingga
seorang hakim bisa memilih salah satu dari beberapa pilihan hukuman yang ada.
Jumhurul ulama’ sepakat bahwa hukuman yang dimaksudkan dalam surat
al-Maidah ayat 33 bersifat tauzî’î. Karenanya, had dijatuhkan sesuai
dengan kadar kejahatan yang dilakukan seseorang. Berikut simpulan akhir
pendapat mayoritas ulama terkait had yang ditetapkan untuk perampok, penyamun,
dan perompak:
1. Jika seseorang merampas harta orang lain dan membunuhnya maka
hadnya adalah dihukum mati kemudian disalib.
2. Jika seseorang tidak sempat merampas harta orang lain akan
tetapi ia membunuhnya maka hadnya adalah dihukum mati.
3. Jika seseorang merampas harta orang lain dan tidak membunuhnya
maka hadnya adalah dihukum potong tangan dan kaki secara menyilang.
4. Jika seseorang tidak merampas harta orang lain dan tidak juga
membunuhnya semisal kala ia hanya ingin menakut-nakuti, atau kala ia akan
melancarkan aksi jahatnya ia tertangkap lebih dulu, dalam keadaan seperti ini,
ia dijatuhi hukuman had dengan dipenjarakan atau diasingkan ke luar wilayahnya.
Perlu
dijelaskan bahwa hukuman mati terhadap perampok, penyamun, dan perompak yang
membunuh korbannya berdasarkan had bukan qishash, sehingga tidak dapat gugur
walaupun dimaafkan oleh keluarga korban
Sebagian ulama salaf berpendapat bahwa had
perampok, penyamun, perompak yang dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 33
bersifat takhyiri hingga hakim boleh memilih salah satu jenis hukuman
yang disebutkan dalam ayat tersebut.
d. Perampok, penyamun, dan perompak yang taubat
Taubatnya perampok, penyamun, dan perompak
setelah tertangkap tidak dapat mengubah sedikitpun ketentuan hukum yang ada
padanya. Namun jika mereka bertaubat sebelum tertangkap, semisal menyerahkan
diri dan menyatakan taubat dengan kesadaran sendiri, maka gugurlah had. Hal ini
didasarkan pada firman Allah Swt :
إِلَّا
الَّذِيْنَ تَابُوْا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوْا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوْا أَنَّ
اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
Artinya :” Kecuali orang – orang yang taubat (diantara mereka)
sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka, maka ketahuilah bahwasannya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.Al – Maidah : 34)
Diisyaratkan dalam ayat tersebut bahwa
Allah Swt akan mengampuni mereka (perampok, penyamun, perompak) yang bertaubat
sebelum tertangkap. Ayat ini menunjukkan bahwa had yang merupakan hak Allah
dapat gugur, jika yang bersangkutan bertaubat sebelum tertangkap.
e.
Hikmah pengharaman merampok, menyamun dan merompak
Prinsipnya, hikmah pengharaman merampok,
menyamun, dan merompak sama dengan hikmah pengharaman mencuri
VI. BUGHAT (PEMBANGKANG)
a.
Pengertian bughat
Kata بُغَاةٌ adalah jamak dari isim fail بَاغٍ. Akar katanya بَغَى - يَبْغِي
yang berarti : mencari, dan dapat pula berarti maksiat, melampaui batas,
berpaling dari kebenaran, dan dzalim.
Adapun
bughat dalam pengertian syara’ adalah orang-orang yang menentang
atau memberontak pemimpin Islam yang terpilih secara syah. Tindakan yang
dilakukan bughat bisa berupa memisahkan diri dari pemerintahan yang syah,
membangkang perintah pemimpin, atau menolak berbagai kewajiban yang dibebankan
kepada mereka.
Seorang
baru bisa dikategorikan sebagai bughat dan dikenai had bughat jika beberapa
kriteria ini melekat pada diri mereka:
1. Memiliki kekuatan, baik berupa pengikut
maupun senjata. Dari kriteria ini bisa disimpulkan bahwa penentang imam yang
tak memiliki kekuatan dan senjata tidak bisa dikategorikan sebagai bughat.
2, Memiliki takwil (alasan) atas tindakan
mereka keluar dari kepemimpinan imam atau tindakan mereka menolak kewajiban.
3. Memiliki
pengikut yang setia kepada mereka.
4. Memiliki
imam yang ditaati.
b. Tindakan hukum terhadap bughat
Para bughat harus diusahakan sedemikian rupa agar
sadar atas kesalahan yang mereka lakukan, hingga akhirnya mau kembali taat
kepada imam dan melaksanakan kewajiban mereka sebagai warga negara.
Proses penyadaran kepada mereka harus dimulai dengan
cara yang paling halus. Jika cara tersebut tidak berhasil maka boleh digunakan
cara yang lebih tegas. Dan jika cara tersebut masih juga belum berhasil, maka
digunakan cara yang paling tegas.
Berikut urutan tindakan hukum terhadap bughat sesuai
ketentuan fiqh Islam:
1. Mengirim utusan kepada mereka agar
diketahui sebab–sebab pemberontakan yang mereka lakukan. Apabila sebab – sebab itu karena ketidaktahuan mereka
atau keraguan mereka, maka mereka harus diyakinkan hingga ketidak tahuan atau
keraguan itu hilang.
2. Apabila tindakan pertama tidak berhasil,
maka tindakan selanjutnya adalah menasehati dan mengajak mereka agar mau
mentaati imam yang sah.
3. Jika usaha kedua tidak berhasil maka
usaha selanjutnya adalah memberi ultimatum atau ancaman bahwa mereka akan diperangi. Jika setelah munculnya
ultimatum itu mereka meminta waktu, maka harus diteliti terlebih dahulu apakah
waktu yang diminta tersebut akan digunakan untuk memikirkan kembali pendapat
mereka, atau sekedar untuk mengulur waktu. Jika ada indikasi jelas bahwa mereka
meminta penguluran waktu untuk merenungkan pendapat-pendapat mereka, maka
mereka diberi kesempatan, akan tetapi sebaliknya, jika didapati indikasi bahwa
mereka meminta penguluran waktu hanya untuk mengulur-ulur waktu maka mereka tak
diberi kesempatan untuk itu.
4. Jika mereka tetap tidak mau taat, maka
tindakan terakhir adalah diperangi sampai mereka sadar dan taat kembali.
c. Status Hukum Pembangkang
Kalangan bughat tidak dihukumi kafir. Allah sampaikan
hal ini dalam firman-nya pada surat
al-Hujurat ayat 9:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اِقْتَتَلُوْا فَأَصْلِحُوْا...
Artinya : “ Dan jika dua golongan dari orang – orang mukmin
berperang, maka damaikanlah antara keduanya.”(Q.S. al-Hujurat: 4)
Pembangkang
yang taubat, taubatnya diterima dan ia tidak boleh dibunuh. Oleh sebab itu,
para bughat yang tertawan tidak boleh diperlakukan secara sadis, lebih-lebih
dibunuh. Mereka cukup ditahan saja hingga sadar.
Adapun
harta mereka yang terampas tidak boleh disamakan dengan ghanimah. Karena
setelah mereka sadar, harta tersebut kembali menjadi harta mereka. Bahkan jika
didapati kalangan bughat yang terluka saat perang, mereka tidak boleh serta
merta dibunuh. Terkait hal ini Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan bahwa kala terjdi
perang Jamal, Ali menyuruh agar diserukan: “Yang telah mengundurkan diri jangan
dikejar, yang luka-luka jangan segera dimatikan, yang tertangkap jangan
dibunuh, dan barang siapa yang meletakkan senjatanya harus diamankan.”
RANGKUMAN MATERI
·
Hudud adalah
pembeda di antara dua hal, antara halal dan haram. Pembahasan mengenai hudud di
bagi menjadi enam macam yaitu masalah zina, qadzaf/menuduh orang lain berbuat
zina, miras, mencuri, hirabah dan bughah. Keenam hal tersebut harus kita
hindari.
Ø Zina adalah perbuatan keji yang dilarang Allah. Perbuatan zina akan
menurunkan derajat kehidupan manusia.
ü Zina dibagi menjadi dua macam, pertama: zina muhson yaitu praktik
zina yang dilakukan oleh orang yang sudah pernah berkeluarga. Hukumannya,
dirajam hingga mati. Kedua: zina ghairu muhson, yaitu praktik zina yang
dilakukan oleh seseorang yang belum menikah. Hukumannya didera 100 kali
ditambah dengan hukuman pengasingan selama satu tahun (menurut pendapat
sebagian ulama).
Ø Qadzaf adalah menuduh wanita baik-baik melakukan praktik zina.
ü Penuduh yang tidak dapat mengemukakan 4 orang saksi didera 80 kali.
Ø Miras adalah segala jenis minuman atau lainnya
yang dapat memabukkan / menghilangkan kesadaran. Miras berdampak pada sisi
jasmani dan rohani.
ü Peminum minuman keras didera 40 kali.
Sedangkan Imam Abu Hanifah, Imam Malik
dan Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa pukulan dalam had minum-minuman
keras adalah 80 (delapan puluh) kali.
Ø Mencuri adalah perbuatan seorang mukallaf
(baligh dan berakal) mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi,
mencapai jumlah satu nishab dari tempat simpanannya, dan orang-orang yang
mengambil tersebut tidak mempunyai andil pemilikan terhadap barang yang
diambil.
ü Hukuman bagi pelakunya adalah potong tangan
dan kaki secara silang.
Ø Hirabah ( menyamun, merampok dan merompak) berarti
mengambil harta orang lain dengan kekerasan/ancaman senjata dan kadang-kadang
disertai dengan pembunuhan.
Ø Bughah adalah pemberontakan orang-orang Islam terhadap imam
(pemerintah yang sah) dengan cara tidak mentaati dan ingin melepaskan diri atau
menolak kewajiban dengan memiliki kekuatan, argumentasi dan pemimpin.
ü Bughat yang tetap membangkang setelah
dinasehati dan diajak untuk taat kepada imam diultimatum untuk diperangi. Jika
mereka masih juga membangkang, maka mereka benar-benar diperangi sampai sadar
dan taat kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar